Senin, 15 Juli 2013

Psikiatri I



Konsep kesehatan jiwa
Kesehatan adalah keadaaan sejahtera dari fisik, mental dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU No  23 tahun 1992 tentang kesehatan). Sedangkan menurut WHO (2005) kesehatan  adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan.
Kesehatan jiwa menurut UU No 23 tahun 1996  tentang kesehatan jiwa sebagai suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan secara selaras dengan keadaan orang lain. Selain dengan itu pakar lain  mengemukakan bahwa kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental yang sejahtera (mental wellbeing) yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif, sebagai bagian yang utuh dan kualitas hidup seseorang dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia. Dengan kata lain, kesehatan jiwa bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang, mempunyai perasaan sehat dan bahagia serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain
Dalam sidang WHO pada Tahun 1959 di Geneva telah berhasil merumuskan kriteria jiwa yang sehat. Seseorang dikatakan mempunyai jiwa sehat menurut WHO apabila yang bersangkutan itu:
  1. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk baginya.
  2. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya.
  3. Merasa lebih puas memberi dari pada menerima.
  4. Secara relatif bebas dari rasa tegang (stress), cemas dan depresi.
  5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan.
Dalam kaitannya dengan definisi jiwa sehat menurut WHO, maka pada tahun 1984 Organisasi Kesehatan se Dunia (World Health Organization) telah menambahkan dimensi agama sebagai salah satu dari 4 pilar sehatan; yaitu kesehatan manusia seutuhnya meliputi: sehat secara jasmani/ fisik (biologik); sehat secara kejiwaan (psikiatrik/ psikologik); sehat secara sosial; dan sehat secara spiritual (kerohanian/ agama).
Manusia yang sehat seutuhnya adalah manusia yang beragama, dan hal ini sesuai dengan fitrah manusia. Keempat dimensi sehat tersebut di atas diadopsi oleh the American Psychiatric Association dengan paradigma pendekatan bio­psycho-socio-spiritual.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka dalam perkembangan kepribadian seseorang mempunyai 4 dimensi holistik, yaitu agama, organobiologik, psiko-edukatif dan sosial budaya.

KONSEP GANGGUAN JIWA
Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri (Djamaludin, 2001). Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition),emosi (affective),
tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007).
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran social.

Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ II yang merujuk pada DSM ((Diagnostic and statistical manual of mental disorder)- III :
Sindrom atau pola perilaku, atau psikologik seseorang yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaaan (distress) atau hendaya ( impairment . disability) didalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. sebagai tambahan, disimpulkan bahwadisfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara orang itu dan masyarakat.
Konsep ” Disability” dari “The ICD 10 Classification of Mental and Behavior Disorders” :
Gangguan kinerja (performance) dalam peran sosial dan pekerjaan tidak digunakan sebagai komponen esensial untuk diagnosis  gangguan jiwa, oleh karena hal ini berkaitan dengan variasi sosial budaya yang sangat luas. Yang diartikan sebagai “disability” adalah keterbatasan / kekurangan kemampuan untuk melaksanakan suatu aktifitas pada tingkat personal, yaitu melakukan kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi,berpakaian,makan,kebersihan diri,buang air besar dan kecil)
Dari konsep tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan jiwa, didapatkan butir-butir :
  1. Adanya Gejala Klinis yang bermakna, berupa :
- sindrom atau pola perilaku
- Sindrom atau pola psikologik
  1. Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain dapat berupa : rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh dan lain-lain.
  2. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (Disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi,berpakaian,makan, kebersihan diri, dll)

PEMERIKSAAN DAN WAWANCARA PSIKIATRI
Wawancara pada kasus- kasus Psikiatrik memerlukan keterampilan khusus dan harus
memperhatikan beberapa keadaan pasien,keluarga pasien dan juga pemeriksa (dokter).
Pasien seringkali malu- malu mengemukakan masalah emosionalnya. Pasien seringkali tidak terbuka mengatakan gejala/keluhan yang dia rasakan atau bahkan menyampaikan secara berlebihan. Dokter/pemeriksa perlu menjaga kerahasiaan pasien.

Disamping melakukan auto anamnesa seperti pada pemeriksaan pasien lainnya, sering dalam menghadapi atau memeriksa pasien psikiatrik dibutuhkan alloanamnesa dari
keluarga terdekat, teman, tetangga atau aparat/orang yang mengantar atau mendampingi pasien.

TEKNIK MEMULAI WAWANCARA
¨Bantu pasien agar merasa cukup nyaman memberikan informasi
¨Perhatikan komunikasi pasien, baik verbal maupun nonverbal
¨Pada awal wawancara biarkan pasien mengemukakan keluhannya, yang membawa dia  mencari pertolongan.

PROSES WAWANCARA
1.Perkenalan dan memberi salam
Sebaiknya terapislah yang terlebih dulu memberi salam dan memperkenalkan diri.
Pakailah bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien, temponya sesuaikan dengan keadaan pasien, jangan terburu-buru.
2.Bina hubungan saling mempercayai Terapis tidak secara spontan dipercaya oleh pasien, tapi perlu dibina melalui sikap & perilaku terapis yang berempati dan mengerti perasaan mereka.
3.Menjadi pendengar yang efektif Sering orang merasa mulai lebih baik, apabila mereka diberi kesempatan untuk bicara dan yakin bahwa mereka didengarkan.
Masalah depresi, kecemasan, ketakutan yang yang tak dapat diatasi, sakit dan nyeri yang tak ditemukan gangguan fisiknya, dan berbagai gejala lainnya, dapat disebabkan oleh perasaan yang ditekan dan tidak diekpresikan

TOPIK WAWANCARA

Riwayat Penyakit sekarang
1.Onset, deviasi dan perubahan gejala dari waktu ke waktu
2.Stress pemicu khususnya tentang kehilangan, kematian, PHK atau kehilangan uang/harta
3.Persepsi pasien tentang dirinya atau persepsi orang lain tentang pasien (pasangan,
orang tua)
4.Gangguan dan pengobatan sebelumnya
5.Kemampuan adaptasi sosial (pekerjaan, sekolah dll), Keuntungan sekunder yang
diperoleh pasien (dari pekerjaan, sekolah, rumah, penyakitnya)

Riwayat pribadi
a.Perkembangan
b.Informasi tentang perkembangan usia dini (riwayat kehamilan). Informasi didapat dari
keluarga
c.Temperamen waktu kecil, kejadian penting dalam keluarga (kematian, perpisahan,
perceraian) yang dapat mempengaruhi berkembangnya temperamen ini
d.Riwayat sekolah, teman, stabilitas keluarga, penelantaran atau penganiayaan,
hubungan pasien dengan orang tua, saudara kandung dan teman merupakan barometer
penting

Riwayat Sosial
a.Apakah pasien pendiam dan tidak berkawan atau mudah dan banyak kawan
b.Apakah ada perubahan kepribadian yang dirasakan oleh pasien atau diamati oleh
keluarga atau teman
c.Status perkawinan dan taraf fungsi seksual sekarang
d.Riwayat pekerjaan (sekarang, diberhentikan, pindah-pindah pekerjaan, sudah berapa
kali pindah dan alasan pindah) masalah alkohol atau perilaku anti sosial
e.Riwayat berhubung dengan aparat (masalah disipilin atau tindak kekerasan)

Riwayat Keluarga
a.Riwayat penyakit genetic, sikap keluarga terhadap gangguan jiwa dan pengobatannya
b.Riwayat masalah kesehatan jiwa pada anggota keluarga (gangguan jiwa, problem
NAFZA, usaha bunuhdiri, dll)
c.Riwayat jenis obat yang berhasil baik untuk terapi gangguan yang sama.
Kemungkinan obat yang sama juga akan beraksi baik terhadap pasien sekarang

Riwayat Psikiatrik
Perlu dicatat dalam riwayat penyakit sekarang
¨Masalah kesehatan jiwa sebelumnya
¨Riwayat pengobatan: nama dokter dan tempatnya, jenis obat, dosis dan hasil terapi

Riwayat penggunaan atau penyalahgunaan zat
Secara hati-hati tanyakan juga penggunaan :
¨Narkotika
¨Psikotropika
¨Alkohol
¨Nikotin
Dan  dampaknyaterhadap pasien termasuk aspek legal

Riwayat perilaku buruk
¨Kebiasaan berjudi
¨Kekerasan dalam rumah tangga
¨Kebiasaan yang bersifat anti sosial

Cara mengakhiri Wawancara:
Setelah wawancara dilakukan dan pemeriksaan merasa sudah cukup data-data
menyimpulkan hasil pemeriksaan, maka disampaikan kesimpulan dari hasil wawancara pada keluarga pasien serta rencana pertemuan selanjutnya dan rencana pengobatan yang akan diberikan pada pasien.

PEMERIKSAAN PSIKIATRI

1.         Keadaan Umum
·      Isi: jenis kelamin, usia, rawat diri
·      Penting untuk menentukan/memperkirakan prognosis pasien
·      Contoh: tampak seorang laki-laki sesuai usia, dengan rawat diri cukup.


2.         Kesadaran
a.  Compos mentis
b.   Somnolen
c.    Stupor
d.   Koma: ketidaksadaran berat, pasien sama sekali tidak memberikan respon terhadap stimuli.
e.    Koma vigil: keadaan koma tetapi mata tetap terbuka.
f.     Kesadaran berkabut: kesadaran menurun yang disertai dengan gangguan persepsi dan sikap
g.   Delirium: kesadaran menurun disertai bingung, gelisah, takut, dan halusinasi. Penderita menjadi tidak dapat diam.
h.   Twilight state (dreamy state): kesadaran menurun disertai dengan halusinasi, biasanya terjadi pada epilepsi.

3.         Orientasi
·      Isi: orientasi orang, waktu, tempat, dan situasi
·      Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk menilai orientasi pasien, misalnya:
ü  Mbak, kemarin datang ke sini hari apa/sudah berapa hari?(O-w) Datang sama siapa?(O-o) Kenapa dibawa ke sini?(insight) Waktu dibawa ke sini, mbak baru apa, dimana?(o-t,s)
·      Contoh: Orientasi o/w/t/s = b/j/b/b (b: baik, j: jelek)

4.         Sikap, Tingkah Laku
·      Isi: aktivitas (hiperaktif, normoaktif, hipoaktif), kerjasama (kooperatif, nonkooperatif), psikomotor (jika ada)
·      Bentuk kelainan psikomotor yang dapat diamati:
a.    Echopraxia: menirukan gerakan orang lain
b.    Katatonia
ü   Katalepsi: pasien tidak bergerak dan cenderung mempertahankan posisi tertentu.
ü Fleksibilitas serea: gerakan yang diberikan oleh pemeriksa secara perlahan, dan kemudian dipertahankan oleh pasien.
ü   Negativisme: gerakan menentang/tidak mematuhi perintah.
c.     Katapleksi: tonus otot menghilang sementara dikarenakan emosi
d.    Stereotipi: aktivitas fisik atau bicara yang diulang-ulang
e.    Manerisme: gerakan involunter yang stereotipik
f.     Otomatis perintah: mengikuti perintah secara otomatis
g.    Mutisme: tak bersuara
h.    Agresi: perbuatan menyerang, baik verbal maupun fisik, disertai afek marah/benci.

5.         Afek
·      Afek: emosi yang diekspresikan oleh pasien, sehingga penilaiannya obyektif (dapat diamati oleh pemeriksa)
·      Afek dapat dinyatakan dalam beberapa cara:
a.    Jenis emosi : kemarahan, kesedihan, euphoria (peningkatan ekspresi kegembiraan), elasi (euphoria dengan peningkatan aktivitas psikomotor), eksaltasi (elasi yang disertai waham kebesaran), ekstase (agresi).
b.    Intensitas dan derajat emosi: datar, tumpul, sempit, luas.
ü  Datar: tidak terdapat ekspresi
ü         Tumpul: ekspresi yang tampak sangat sedikit (hamper tidak terdapat ekspresi)
ü         Sempit/menyempit: pasien terkadang masih dapat mengekspresikan perasaannya.
ü         Luas: perasaan dapat diekspresikan secara penuh (normal)
c. Keserasian: dilihat dari kesesuaian antara stimulus yang diberikan dengan ekspresi pasien: appropriate, inappropriate.
d.    Konsistensi perasaan: labil, stabil. Labil bila terjadi perubahan afek yang cepat.

6.         Mood
·      Isi: sedih, takut, bahagia, marah, cemas, irritable, disforik.
·      Mood: emosi yang berkepanjangan yang dialami secara subyektif dan dilaporkan oleh pasien.
·     Mood disforik: apabila dirasakan oleh penderita tidak menyenangkan, misalnya irritable, marah, atau depresi.

7.         Proses Pikir
·      Dibedakan menjadi bentuk pikir, isi pikir, dan progress pikir.
a.    Gangguan bentuk pikir:
1)  Nonrealistik/derealistik: tidak sesuai dengan kenyataan tetapi masih mungkin, misal: “saya adalah seorang presiden” atau seorang dokter berkata, “saya dapat menyembuhkan semua orang yang sakit”
2)   Dereistik: tidak sesuai dengan kenyataan dal lebih didasarkan pada khayalan, misal: “saya adalah seorang malaikat” atau “saya dapat menyembuhkan segala macam penyakit”
3)   Autistik: pikiran yang timbul dari fantasi, berokupasi pad aide yang idesentris. Orang autistic selalu hidup dalam alam/dunianya sendiri, dan secara emosional terlepas dari orang lain.
4)   Tidak logis (illogical thought), sering juga disebut magical thought: berorientasi pada hal-hal yang bersifat magis.
5) Pikiran konkrit (formal thought disorder): pikiran terbatas pada satu dimensi arti, pasien mengartikan kata/kalimat apa adanya, tidak mampu berpikir secara metaforik atau hipotetik. Symptom ini biasa ditemukan pada pasien dengan gangguan mental organic dan skizofrenia. Contoh: meja hijau = meja yang berwarna hijau, daun muda = daun yang masih muda.

b.    Gangguan isi pikir:
1)    Ideas of reference: pasien selalu berprasangka bahwa orang lain sedang membicarakan dirinya dan kejadian-kejadian yang alamiah pun memberi arti khusus/berhubungan dengan dirinya. Contoh: pasien merasa bahwa berita yang dibawakan oleh pembawa berita di televise berkaitan dengannya dan terselip pesan untuknya.
2)    Waham: keyakinan palsu yang timbul tanpa stimulus dari luar yang cukup
ü    Ciri:
-          Tidak realistic
-          Tidak logis
-          Menetap
-          Egosentris
-          Diyakini kebenarannya oleh penderita
-          Tidak dapat dikoreksi
-          Dihayati oleh penderita sebagai hal yang nyata
-          Penderita hidup dalam wahamnya itu
-          Keadaan/hal yang diyakini itu bukan merupakan bagian sosio-kultural setempat.
ü    Macamnya:
-          Waham kebesaran
-          Waham diancam
-          Waham cemburu
-          Waham curiga
-          Waham bersalah
-          Waham berdosa (biasanya pasien tampak selalu murung)
-          Waham tak berguna (sering kali memicu keinginan pasien untuk bunuh diri)
-          Waham miskin
-          Waham hipokondria (pasien merasa di dalam tubuhnya ada sesuatu benda yang harus dikeluarkan sebab dapat membahayakan dirinya)
-          Waham kejar
-          Waham bizarre, meliputi:
Ø  Waham sedot pikir (thought of withdrawal): pasien percaya bahwa seeseorang telah mengambil keluar pikirannya
Ø  Waham sisip piker (thought of insertion): pasien percaya bahwa seseorang telah menyesipkan pikiran ke kepalanya
Ø  Waham siar piker (thought of broadcasting): pasien percaya bahwa orang lain dapat mengetahui/membaca pikirannya
Ø  Waham kendali piker (thought of being controlled): pasien percaya bahwa apa yang dirasakan/dilakukannya dipengaruhi/dikendalikan oleh orang lain.
3)    Obsesi: gagasan (ide), bayangan, atau impuls yang berulang dan persisten.
4)    Kompulsi: perilaku/perbuatan berulang yang bersifat stereotipik, biasanya menyertai obsesi.
5)   Fobia: ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu objek, aktifitas, atau situasi spesifik yang menimbulkan keinginan yang mendesak untuk menghindarinya.
6)   Anosognosis: pasien menolak kenyataan bahwa ia mengalami gangguan fisik, hal ini terjadi pada pasien yang mengalami luka/trauma dan kerusakan otak yang luas. Contoh: penderita buta mengatakan bahwa ia dapat melihat.

c.     Gangguan progress/arus pikir
1)       Neologisme: pembentukan kata-kata baru yang memiliki arti khusus bagi penderita, sering terdapat pada pasien skizofrenia. Neologisme dapat pula akibat halusinasi akustik sehingga sering merupakan kata yang diulang.
2)       Word salad: bentuk ekstrim neologisme yang ditandai dengan kalimat yang dibentuk dari kata-kata yang hamper semuanya tidak dapat dimengerti.
3)       Magical thinking: pasien percaya bahwa segala tingkah laku, ucapan, sikap, serta gerak-geriknya dikendalikan oleh kekuatan magis. Symptom ini menonjol pada pasien dengan obsesif kompulsif dan secara ekstrim terdapat pada skizofrenia.
4)        Intelektualisasi: pembicaraan yang meloncat-loncat kea rah konsep intelektual, tentang teori yang abstrak dan filosofis. Sering dijumpai pada pasien obsesif kompulsif dan skizofrenia.
5)       Circumstantiality: gangguan asosiasi karena terlalu banyak ide yang disampaikan. Pada umumnya pasien dapat mencapai tujuannya, tetapi harus secara bertahap. Sering dijumpai pada pasien skizofrenia, epilepsy, dan demensia senilis.
6)         Tangential thinking: pembicaraan pasien terlepas sama sekali dari pokok pembicaraan dan tidak kembali ke pokok pembicaraan tersebut, sehingga tujuan tidak pernah tercapai. Sering dijumpai pada pasien bipolar fase manic.
7)         Asosiasi longgar: pasien berbicara dengan kalimat-kalimat yang tidak berhubungan, namun masih dapat dimengerti.
8)        Inkoherensi: merupakan asosiasi longgar yang berat, terdapat distorsi tatabahasa/susunan kalimat dengan arti istilah yang aneh. Secara khas terdapat pada skizofrenia.
9)       Flight of ideas: pembicaraan yang melompat-lompat dari satu topic ke topic lain tanpa terputus, dimana masih terdapat benang merah (masih terkait, walau sangat kecil kaitannya).
10)    Stereotypi kata/kalimat: pengulangan kata/kalimat karena adanya pengulangan buah pikiran. Bila terjadi pengulangan kata = verbigerasi, pengulangan kalimat = perseverasi. Terdapat pada skizofrenia dan GMO.
11)     Logore: pasien berbicara terus-menerus tanpa henti.
12)     Echolalia: menirukan kata-kata/kalimat orang lain, cenderung berulang-ulang dan persisten.
13)    Remming: pasien berbicara dengan sangat lambat dan biasanya dengan nada yang rendah, karena pikirannya timbul perlahan sehingga progresi piker menjadi lambat. Biasanya terdapat pada pasien dengan depresi.
14)    Blocking: putusnya pikiran yang ditandai dengan putusnya secara sementara atau terhentinya pembicaraan. Sering ditemukan pada skizofrenia.
15)    Mutisme: pasien tidak member respon terhadap lingkungan, tidak mau berbicara sama sekali. Sering ditemukan pada skizofrenia kataton, depresi berat, histerical aphonia, dan GMO.
16)     Aphasia: gangguan berbicara/berbahasa karena kerusakakn otak.

8.         Persepsi
·      Isi: agnosia, halusinasi, ilusi
·    Agnosia: ketidakmampuan mengenal dan menafsirkan rangsangan sensorik -- agnosia visual, taktil, sensorik.
·      Halusinasi: persepsi terhadap rangsang yang tak nyata. (tidak terdapat objek)
a.    Halusinasi dengar (akustik, auditori)
b.  Halusinasi visual à harus dalam keadaan mata penderita terbuka. Biasanya merupakan petunjuk adanya gangguan mental organic.
c.    Halusinasi bau/olfaktori
d.   Halusinasi pengecapan/gustatory
e.   Halusinasi seksual
f.     Heautoscopie: halusinasi visual khusus, pasien melihat orang yang mirip dirinya berada di depannya atau mendekatinya. Bila dapat dikoreksi, maka disebut pseudo halusinasi.
g.  Halusinasi kinaestesi (phantom phenomenon): persepsi palsu pada pasien setelah mengalami operasi besar. Contoh: pasien post amputasi kaki berkata bahwa kakinya masih utuh.
·      Ilusi: mispersepsi/misinterpretasi terhadap stimulus sensorik yang real. (ada objek nyata)

9.         Hubungan Jiwa
·      Isi: mudah, dapat, atau sukar.
a.    Mudah: pasien mudah bercerita (member informasi) dan mengungkapkan perasaannya kepada pemeriksa. (mudah diajak berkomunikasi)
b.    Dapat: pasien dapat memberikan sedikit informasi kepada pemeriksa.
c.     Sukar: pasien sukar diajak berbicara, tidak mau memberikan informasi/berkomunikasi dengan pemeriksa.

10.     Perhatian
·      Isi: mudah/sukar ditarik, mudah/sukar dicantum
·      Mudah ditarik: pasien mudah untuk ditarik perhatiannya dan menjawab pertanyaan pemeriksa.
·      Mudah dicantum: pasien dapat memusatkan perhatian pada topic tertentu dan menjawab pertanyaan sesuai dengan topic pembicaraan pemeriksa.

11.     Insight (tilikan diri)
·      Isi: baik/jelek
·    Yaitu pemahaman seseorang terhadap kondisi dan situasi dirinya dalam konteks realitas sekitarnya. (pemahaman pasien terhadap penyakitnya)
·      Derajat insight:
I.        Penyangkalan total terhadap penyakitnya
II.     Ambivalensi terhadap penyakitnya
III.   Menyalahkan faktor lain sebagai penyebab penyakitnya
IV.  Menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan, namun tidak memahami penyebab sakitnya
V.    Menyadari penyakitnya dan faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakitnya namun tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya
VI. Tilikan yang sehat, yakni sadar sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai motivasi untuk mencapai perbaikan.

4 komentar:

  1. wah boleh juga infonya terimakasih
    bagi yang butuh info kesehatan silahkan mampir disini http://www.scribbleme.info

    BalasHapus
  2. sama2 makasi jg udah berkunjung ke blog ini

    BalasHapus